Kampung Kwitang juga terkenal dengan kisah Nyai Dasima yang
terjadi pada 1813 di masa pemerintahan Inggris (Letnan Gubernur Thomas
Raffles). Dasima, gadis dari desa Kuripan, Parung, Bogor dipelihara dan
sekaligus menjadi nyai (kawin tanpa di nikahi alias selir), oleh Meneer Edward
Willem yang tinggal di Pejambon. Samiun,
anak Kwitang yang menjadi kusir sado dan kerap ditumpangi sang nyai, jatuh
hati. Kemudian Samiun dan Dasima saling kasmaran. Anak Kwitang ini akhirnya
berhasil menikahi Nyai Dasima. G. Francis yang menulis naskah tentang Nyai
Dasima dan kemudian di tulis ulang oleh seniman Betawi almarhum S.M. Ardan,
digambarkan sebagai dara yang berparas cantik, berambut panjang, dan kulit
kuning langsat. Sayangnya, istri pertama Samiun yang bernama Hayati begitu
cemburu hingga menyuruh seorang jagoan Kwitang, Bang Puase, untuk membunuh Nyai
Dasima. Dia dibunuh ketika sedang berduaan dengan suaminya, Samiun, naik sado
untuk pergi ke kampung Kwitang untuk menonton “Cerita Amir Hamzah”.
Lokasi pembunuhan kira-kira di bawah jembatan Kwitang
perempatan (dekat toko buku Gunung Agung dan Markas Marinir Parapatan). Kisah
tragis ini telah beberapa kali difilmkan, disamping sandiwara dan sinetron.
Bang Puase sendiri akhirnya di hukum pancung di Gedung Bicara (kini Museum
Sejarah DKI Jalan Fatahilah 1), Jakarta Barat. Kalau sekarang kita mendatangi
Kwitang, Ciliwung sudah tidak lagi bersahabat. Di samping getek-getek bamboo yang
menghilang, Ciliwung kotor seperti air comberan dan tidak terbayangkan dulu
warga sering berenang sambil ngebak di kali yang jernih dan dalam.
Di copy dari buku “Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia”
karya Alwi Shahab

0 komentar:
Post a Comment