About

i and the trip across the szechenyi bridge

Wednesday, October 9, 2013

Salam, Ngek, Gubrak!!! - Tak ada yang aku ketahui, bagaimana mereka para ilmuwan mencoba mengaplikasikan bahwa bumi itu bulat, dan aku hampir pasti mengagumi sosok jenius berkepala setengah botak dengan frame kacamata keemasannya. Bukankah dahulu sebagian dari mereka berkata bumi itu datar? dikelilingi dinding es yang mereka sebut sebagai kutub selatan. Lalu apa yang menyebabkan secara perlahan pandangan itu berubah dan menggantikan teori lama tentang bumi itu? Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah membawa kita dan dunia ini pada suatu dimensi yang meriah, riuh dan segar. Tampak lebih berwarna dan hal ini jelas membuka mata siapa pun akan isi dunia ini, bagaimana mereka tumbuh, bermetamorfosis, marah dan menghancurkan segalanya. Ini sangat unik, dan aku jelas masih tak dapat menghapus kebingungan ini, meski aku sendiri tak bisa meragukan apa yang terjadi disini. Segala bentuk kejadulan telah berganti ke arah yang mereka sebut dengan masa modern, masa dimana ilmu pengetahuan begitu berharga, menggantikan atau bahkan menjadi pelengkap sebuah kekuatan. Sampai detik ini aku masih merasakan situasi dimana separuh dari masa yang merugi dalam diriku, tak hitam namun cukup membuat ku gelap, tak merah pula, tapi ini jelas sebuah kesalahan fatal. 

Mereka yang telah merubah dunia ini jelas membuatku terpesona, menerangi bumi ini, melakukan hal-hal diatas kewajaran manusia namun tetap ter-logika-kan. Aku?? ya sekali lagi aku hanya mampu menjadi seorang pengagum, penggembira, bahkan untuk sekedar menikmati buah pikir mereka pun aku tak bisa benar-benar hanyut. Ini adalah malapetaka, dan ini jelas harus ku rubah, kerinduan ini pada malaikat kiri ku harus segera dikurangi, atau bahkan harus dihapuskan sama sekali. Tak ada jalan yang begitu mudah untuk memulai sesuatu hal yang baru, seperti mereka yang telah merubah teori tentang bumi itu, dan bukan pada proses yang instant, mereka begitu menghargai usaha dan kesabaran mereka, menggadaikan pikirannya pada kehidupan pribadinya dan mungkin memusnahkan rasa lelah mereka. Sekali lagi, aku tetap tak paham dengan apa yang mereka lakukan, meski terkadang aku terlihat begitu antusias dan sesekali mencoba berpikir jauh melebihi kemampuanku. Hal ini aku pikir normal, tak ada yang salah dan segala bentuk kepanikan adalah sebuah dorongan yang bagus. Aku selalu mengagumi mereka, meneriaki mereka dengan rasa bangga atas kekagumanku, faktanya ini adalah hal yang paling idiot selain kerinduanku pada masa dimana aku menjadi seorang yang absurd dan menjadi pribadi yang memalukan. Aku, mereka dan kita adalah sama, terlahir pada proses yang sama dan pada satu spesies yang sama. Perbedaan itu mendasar pada pandangan dan cara berpikir kita. Awalnya semua terlihat normal sampai aku merasa sebuah vandalisme adalah cara menikmati hidup yang benar-benar hidup, merasakan sensasi dari sebuah dorongan negatif dan memberi denyut yang menghidupkan adrenalin. Membaur dalam sebuah kumpulan babi-babi yang kotor yang mengepung mereka pada lumpur-lumpur yang 
menjijikan. Hidup ini harus aku atur, dan mereka jelas tak berhak melarangku sama sekali sampai saat-saat yang membuat dilema mengharuskan ku bersujud menyembah sebagian berhala. Aku mulai muak menghadapi kisah melodramatis yang sendu, walau pada faktanya airmata itu pun juga menjadi hak ku. Dalam tiap periode kehidupan, aku coba memaknainya sebagai sebuah perubahan dan mencoba dengan sangat keras untuk mengaturnya sekali lagi. Tangisanku tak pernah terdengar keras, cukup sendu namun mengharukan bagi batinku, aku merasakan sebuah dejavu yang unik, terkadang menggelikan yang kini membawaku pada sebuah rasa menyesal yang mendalam. Mendengarkan para tetua bercerita sungguh membuatku bosan, menghilangkan sebagian rasa percaya diriku, dan hampir membawaku pada sebuah peperangan yang sama sekali tidak aku pikirkan. Untuk menghadapi seorang Vlad Tepes apakah harus menggunakan bawang putih? lalu apa keyakinan seorang anggota Janissary sehingga membuat mereka begitu mengabdi dan loyal? Aku menganggap ini adalah kekonyolan, mereka tak berhak memasuki ruang pribadiku bahkan aku sama sekali tak perlu doktrin-doktrin penyemangat untuk mempertahankan apa yang aku miliki. Hal lumrah yang selalu aku teriaki, ini aku dan kalian adalah tentang dan hanya hidup kalian, kita tak bisa menyampurnya apalagi bereaksi pada satu kehidupan yang lain. Kesalahan terbesarku adalah lari dari mereka yang sangat menyayangiku dengan salah. Bukan salah mereka sesungguhnya, ditiap pribadi tersimpan antusias yang berbeda, dan pengaruh genetika jelas membawa kita pada bentuk dan kelamin yang berlainan. Begitu pula yang membawa pengaruh mendasar pada setiap sikap dan sifat, aku tak pernah benar-benar memahami hal itu sampai akhirnya aku terjatuh dan terjerumus kelubang yang aku pastikan, kelak aku tak akan terjerumus ke lubang itu untuk yang ke-2 kalinya.


Terkadang kegilaan ku melampaui batas dimana garis kewajaran telah diletakkan, memikirkan tentang konsep dasar time travel, dan membela mati-matian seorang John Tittor yang sama sekali tak pernah ku kenal. Tak lain, itu adalah sebuah ungkapan rasa menyesal seorang rendahan yang masih angkuh. Sesekali sipemalas ini mengetikan beberapa kata yang tak lazim ke mesin pencari, dan mencoba mencari sesuatu yang akan mendorongnya pada sebuah reaksi positif yang menguntungkan. Aku selalu terbuai akan sejarah masa lampau tentang sebuah kemenangan, dan menjadikannya inspirasi pribadi, namun aku terlalu dangkal dan mengaplikasikannya pada tindakan-tindakan yang sia-sia. Separuh dari hidupku adalah muntah, dan sisanya adalah kesalahan. Tak ada setitikpun kebenaran yang aku lewati, sisi dimana seharusnya aku berada dan menikmati rasa bersyukur ku. Isaac Newton memberiku pelajaran beharga pada teori gravitasinya, aku sadar, aku hanyalah milik dari penguasa alam ini, sejauh apapun aku melesat, tentu aku akan kembali padanya dalam keadaan baik ataupun buruk, fakta yang menyakitkan namun membuatku sedikit merenung akan pentingnya menjadi seorang yang benar-benar baik. 


Bukan kesempatan yang membuatku gila, aku jelas memiliki mereka yang hidup melingkariku dengan setiap opsi yang membaikan ku secara pribadi, namun aku tak pernah berfikir setua mereka. Dan aku tak dapat membayangkan, dengan usia yang belasan tahun mengikuti pola pikir mereka yang sebenarnya mereka pun pernah merasakan usia dimana waktu itu aku pijak. Yang tak pernah aku cermati adalah fakta mereka telah memakan garam lebih banyak dari aku yang hanya menjilatinya. Musim ini harus aku tuntaskan, aku tak pernah berharap kebingungan dan kecemasan ini terus berlarut-larut. Aku berusaha menyudahinya dan melangkah dengan usaha yang seharusnya menjadi warisan keluargaku terhadap ku. Aku bukan pembelot yang benar, dan aku bukan penyebrang yang cerdas dan tepat seperti Umar Bin Khattab yang mengkhianati leluhurnya untuk sebuah kebenaran Allah. 


Akhir musim semi akan segera berakhir, namun jalan panjang tak pernah aku ketahui secara pasti. Langkah dan letak kakiku masih terasa bingung, aku tak bisa memprediksi semua, apakah setelah ini musim-musim yang indah akan datang atau musim-musim terberat siap menantang sipemalas ini. Aku tak ingin berujar, dan aku menoak untuk menyesal, aku hanya akan menjalani semua ini dengan apa yang mereka sebut dengan kebaikan, namun tentunya dengan caraku sendiri. Ini adalah sebuah ungkapan tanggung jawab atas apa yang pernah terlewati, dan mencoba menebusnya dengan sesuatu yang membanggakan. Aku bukan ilmuwan yang sanggup menerjemahkan teori- teori briliannya kedalam sebuah hal yang nyata, tapi aku yakin separah apapun nantinya, aku akan dapat membuktikan aku bukan orang jahat, setidaknya bila aku tak sanggup menjadi orang yang baik. 


Terima kasih masa-masa sulit yang membuatku sekarang memiliki hal yang -paling tidak- jauh lebih baik, aku bersemangat, dan aku tak ingin menjadi seperti Mustafa Kemal yang membawa jutaan orang kearah yang salah, menurutku. Aku akan melakukan dan membawa hasil bagi diriku dan aku sama sekali tak berniat membawa mereka kearah ku. Cukupkan saja menjadi sebuah contoh kegagalan yang seharusnya tak dimiliki oleh sekumpulan babi-babi kotor ini. Aku tak seburuk yang mereka kira, dan aku bersyukur, namun aku mencoba meresapinya dan meletakan kecukupan ini pada sebuah titik nadir seorang anak kampung yang naif...

Kartu Bebas Macet

Salam, Ngek, Gubrak..!!! - Dah lama gue gak ngurus ini blog lagi, bukan karena gak ada bahan yang mau ditulis, tapi karena emang lagi males pergi ke warnetnya, hehehehe. Sebenernya ada aja berita yang bisa gue tulis, mulai dari film yang lagi didemo, kisah penggerebekan pabrik narkoba, sampe kisah tiada akhir kasus century yang mencuat lagi. Tapi kali ini gue bukan mau share tentang hal-hal yang gue tulis diatas. Selain gak minat, sepertinya udah banyak media blog yang telah menayangkan atau mengulas tentang masalah diatas. Dan hal yang gue tulis nanti-pun, sebenernya juga sebuah kisah basi, ya tapi paling tidak gue bisa bercerita tentang kejadian yang tadi sore gue alami. MACET, yerp, kemacetan sepertinya masih menjadi bahasan yang penting buat ibu kota Jakarta selain masalah banjir.

Sore ini gue disuruh nganterin adek gue pergi ke kampus dibilangan Gandaria, ya berhubung gue lagi libur kerja, gak ada salah nya gue sekali-kali nganterin. Dengan yakin, gue berangkat sore itu, bruumm.... sampe dikampus dengan selamat dan lancar jaya. Tapi apa yang terjadi setelah gue mengarahkan laju motor gue ke arah pulang, wakwawww... ya ampun macetnya bikin bulu kuduk gue merinding. Nampak dari arah arteri, jembatan layang kebayoran menuju kearah ciledug dipadati kendaraan yang berjejer tak rapi. Jelas ini bukan pemandangan yang bagus, maklum meski gue juga beraktivitas, tapi area yang gue lewati gak semacet yang gue liat ini. gue kerja didaerah kedoya dan jalur yang gue lewati, meski macet namun tak separah dengan apa yang gue saksikan saat itu, dimana kendaraan menumpuk tak bergerak dengan leluasa. Kembali ke cerita... alhasil, gue memutuskan untuk tidak melewati jalur kebayoran yang mengarah ke ciledug, tapi gue mencoba mengambil jalan arah permata hijau yang arah ke kelapa dua. Dan lagi-lagi, bukan dapat kelancaran, tapi area macet lagi yang gue dapat, karena gue udah terjebak, terpaksa gue nikmatin mecet ini. Dan yang parahnya lagi, setelah gue berhasil melewati jalur permata hijau, gue melalui arah kelapa dua menuju joglo. Dan lagi-lagi, macet masih jadi jajanan gue disore itu, jangankan berjalan perlahan, untuk sekedar bergerak pun butuh waktu cukup lama, ya mungkin buat sekedar joget-joget gangnam style bisa kelar kali buat sekali gerak, kebayang dah betapa macetnya sore itu. Setelah beberapa jam akhirnya gue sampai rumah dengan sangat lelah dan sedikit emosi, bagaimana tidak, gue yang berangkat cuma butuh kurang dari setengah jam, tapi untuk pulangnya sampe sejam lebih, paraaaaahhh!!!

Sebenarnya macet ini adalah hal yang biasa di jakarta sebagai ibu kota sekaligus pusat perputaran ekonomi di negara ini, tapi apakah hal itu mutlak dan tak bisa diatasi? Faktanya, sampai sekarang, kemacetan masih menjadi wacana yang selalu menjadi agenda tiap ada pemilihan gubernur yang baru. Janji-janji menangani kemacetan adalah visi yang diusung tiap calon gubernur ketika berkampanye, tapi sampai sekarang yang namanya si macet ini masih terus berkeliaran dan menjadi momok yang mengerikan buat para pengguna jalan. Ya, walaupun secara geografis letak rumah gue masuk ke area tangerang, namun rata-rata penduduk tangerang bekerja di jakarta, jadi mau tak mau, keadaan jakarta juga turut dirasakan warga tangerang dan beberapa daerah di sekeliling jakarta. Setelah kemacetan parah yang gue alami sore tadi, dalam benak gue berfikir, kenapa bisa semacet itu yak? dan berapa kerugian yang harus terbuang dari kemacetan itu, bukan cuma waktu, tapi berapa besar kita membuang BBM karena kemacetan itu? Lalu kira-kira solusi apa yang tepat untuk menanggulangi atau paling tidak mengurangi kemacetan yang ada? Beberapa program pemerintah dan usaha keras dari pemda setempat gue yakin mereka telah bekerja keras, tapi mengapa macet itu masih sangat terasa bahkan malah semakin parah? Ataukah system dan programnya tak tepat? atau karena semakin banyaknya orang kaya sehigga mereka dapat menambah kendaraan mereka setiap hari dan memenuhi tiap ruas jalan? Trans Jakarta sudah berjalan, tapi mengapa ruas jalan masih tetap macet? Trans Jakarta yang bertujuan menciptakan transportasi yang aman dan bebas macet ternyata belum bisa terwujud, mengapa? Lalu program apa yang tepat buat mengurangi kemacetan yang ada? beberapa program calon gubernur yang baru gue rasa sangat bagus, namun semua itu belum ada jaminan pasti. Akankah jakarta akan tetap menjadi ibu kota yang macet? ataukah program gubernur yang nanti menjabat dapat mengatasinya?

Pembangunan apartemen yang murah disekitar perkantoran merupakan hal yang bagus, menurut gue itu suatu terobosan yang baru yang telah dicetuskan oleh salah satu calon gubernur ibu kota, namun kalo dipikirkan memang agak sulit dan gak akan efektif buat masa jauh kedepannya. Karena menurut gue, itu bukan solusi yang tepat, masih menurut gue, dengan adanya apartemen yang dibuat justru hanya akan banyak menarik minat para pendatang yang justru akan meningkatkan populasi warga jakarta. Jadi menurut gue, pemda jakarta juga musti memikirkan dari arah mana gelombang volume kendaraan yang bikin macet itu datang. Tangerang, Depok, Tangsel, dan Bekasi, yerp... daerah-daerah sekitar bekasi ikut mempengaruhi keramaian jalanan di jakarta, jadi menurut gue, pemda harus juga membantu bagaimana daerah sekitarnya untuk menata populasi. Dari hal yang gue lihat, kemacetan terjadi pada jam-jam tertentu dimana jam-jam itu adalah ketika para pekerja berangkat dan akan pulang. Ini menjadi fakta bahwa bukan soal populasi penduduk semata hal yang membuat jakarta menjadi macet, tapi karena arus dari daerah sekeliling jakarta yang warganya bekerja di daerah jakarta. Jadi menurut gue, hal yang tepat adalah menghentikan pembangunan dan membantu pembuatan lapangan pekerjaan disekitar luar jakarta. Mengapa? melihat fakta yang tadi gue tulis, bukankah ikut membantu pembangunan dan lapangan pekerjaan disekitaran luar jakarta juga dapat mengurangi kemacetan. Dengan banyaknya lapangan pekerjaan disekitaran luar jakarta, akan sangat berpengaruh, karena dengan begitu warga yang berada diluaran jakarta tak harus melulu mencari kerja di jakarta, mereka akan tetap bisa mendapat pekerjaan diwilahnya sendiri, dengan begitu volume kendaraan menuju ke jakarta akan berkurang. Menurut gue itulah hal yang tepat buat mengurangi kemacetan di jakarta, dengan mengurangi volume kendaraan ke arah jakarta, gue yakin kemacetan di jakarta akan berkurang drastis. Jadi menurut gue, gak masalah kali menghibahkan separuh APBD jakarata untuk membantu pembangunan didaerah sekitaran jakarta, toh dengan begitu jakarta juga akan terkurangi kemacetannya. Lagi pula pembangunan negara secara keseluruhan kan lebih penting. Apakah setelah ada kartu kesehatan dan kartu kurang mampu musti diadakan lagi kartu bebas macet agar kita bisa bebas dari macet? kan gak mungkin banget tuh, ya apapun itu gue yakin semua warga jakarta ingin bebas dari kemacetan tanpa "kartu bebas macet" tentunya. 

Okelah, memang hal itu gak ada jaminan pastinya, namun gue yakin dengan kalo pekerja dari luaran sekitar jakarta yang banyak menyumbang volume kendaraan ke jakarta, dan gue pikir hal ini musti dicoba, toh gak ada ruginya buat bangsa ini. Bukankah negeri ini bukan cuma jakarta doang, jadi bila jakarta ikut membantu pembangunan disekitaran jakarta juga gak ada masalah seharusnya. Udahlah gitu aja, yang tadi itu cuma saran menurut gue lho, jadi belum teruji juga keberhasilannya, ya lebih lanjut kita serahkan kemacetan ini kepada bapak gubernur aja dah, hehehehehe.... gubrak!!!

sumber gambar: http://adylukadiyo.files.wordpress.com/2011/12/macet.jpg

Istana JP Coen dihancurkan Deandels

Friday, September 20, 2013

Salam, Ngek, Gubrak!!! - Ternyata Jakarta bukan hanya memiliki Istana
Merdeka dan Istana Negara yang masing-masing
menyatu di Jalan Veteran dan Medan Merdeka
Utara. Jauh sebelumnya, Gubernur Jendral VOC
Jan Pieterzoon Coen telah membangun sebuah
istana, meski lebih sering dikenal dengan
sebutan kastil. Sayangnya,kastil itu kini telah
tiada karena sudah dihancurkan oleh Gubernur
Jendral Deandels, ketika dia memindahkan pusat
kota ke sekitaran  Lapangan Banteng dan
Gambir. Dahulu, dalam kastil ini berdiri
bangunan seperti istana gubernur, rumah dewan
penasehat, kepala seksi, kantor pengacara,
tempat pembuatan roti, apotik, gereja dan
banyak lagi, sampai rumah untuk bersenang-
senang pun ada didalam kastil ini.
Deandels menghancurkan bangunan ini, karena
pada saat itu, bangunan ini menjadi sarang
penyakit, karena banyak kanal menjadi endapan
lumpur. Batavia pada abad ke-18, setelah terjadi
letusan Gunung Salak di Bogor, kanal-kanal
terendap lumpur, sementara rumah rumah
Belanda letaknya ditepi kanal. Akibatnya,
terjadilah wabah endemik yang membawa
penyakit mematikan. Batavia yang sebelumnya
dijuluki Ratu dari Timur berubah menjadi
kuburan Belanda.
Kemudian Deandels memindahkan pusat kota ke
arah selatan yang bernama Weltevreden yang
artinya kira kira sangat puas. Dan orang Belanda
pun ramai ramai meninggalkan kotatua
disekitaran Glodok. Welyevreden pun
berkembang setelah berbagai tempat hiburan
dibangun termasuk hotel, rumah makan dan
pertokoan.
Kastil ini dulunya terletak disekitaran tidak jauh
dari galangan kapal VOC yang kemudian menjadi
Menara Syahbadar (kini Museum Bahari).




Source: "Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia"

karya Alwi Shahab